Contact Form

 

Agar Tak mencederai Fitrah anak

*MATERI DISKUSI VIA WHATSAPP HEbAT SEMARANG*

*Agar Tak mencederai Fitrah anak*

_Ninin Kholida M_

Setiap orang terinstal dengan potensi terbaik mereka sebagai bagian tak terpisahkan dari rezeki dan karunia yang Allah berikan pada setiap kelahiran manusia. asalkan manusia tidak mencederai fitrah ini, niscaya potensi terbaik ini akan bersemi indah seiring bertambahnya waktu.

💬Apa yang sebenarnya menghalangi seseorang untuk menemukan potensi terbaik mereka sehingga dengannya mereka bisa melakukan amal amal terbaik?

💬 Mengapa seseorang justru menghabiskan waktu untuk melakukan hal hala sepele atau justru merugikan dirinya namaun abai melakukan hal hak yang prioritas, penting dan bermanfaat?

💬Kebiasaan buruk apa yang menghalangi seseorang untuk melakukan hal terbaik bagi dirinya sendiri ?

American Psychology Assosiation menerbitkan penelitian yang dilakukan oleh Baumeister dan Scher tentang _self defeating_ menyebutkan setidaknya ada 3 pola utama yang dilakukan oleh orang orang tentang kebiasaan buruk yang merusak diri sendiri :

📌 _a. Primary self destruction_
Meskipun jarang ditemukan, beberapa orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang sengaja merugikan atau membahayakan dirinya sendiri, misalnya beberapa tindakan percobaan bunuh diri. 

📌 _b. Trade off model_
pada dasarnya seseorang melakukan keuntungan sambil melakukan kerusakan bagi dirinya sekaligus dalam satu perbuatan. Keuntungan yang dimaksud bisanya  jangka pendek/seketika, sedangkan risiko/ kerugian yang  biasanya lebih besar dalam waktu yang lebih lama, misalnya perilaku merokok, menonton pornografi, penggunaan narkoba, dan seks bebas.

📌 _c. Contra productive strategy_
seseorang sadar jika menginginkan hasil tertentu namun justru melakukan hal yang membuatnya justru tidak berhasil mencapai tujuannya. Misalnya sadar banyak pekerjaan yang harus dilakukan tapi malah tidur-tiduran dan main gadget, menunda nunda waktu, ingin pintar tapi malah mencontek, ingin menabung dan membeli rumah idaman tapi malah bersikap boros pada hal hal sekunder, ingin sukses tapi malas.

*Orang tua yang Tak percaya diri atau terlalu percaya diri*

Ada orang orang yang menganggap ketidakberuntungan, musibah, kesalahan yang terjadi pada dirinya sebagai sesuatu yang ‘memang pantas ia terima’ karena ia merasa dirinya buruk, tidak berharga, bodoh dan rendah.

Dalam perkembangannya bahasan self defeating berkembang menjadi berbagai tema dalam lingkup _Psychology of deservingness_. Alih alih mencari penyebab, berpikir secara rasional untuk memperbaiki, beberapa orang malah cenderung menyalahkan dirinya sendiri, mengutuk dan membenci dirinya sendiri. Dalam berbagai level, dari mulai ringan sampai parah hal ini memawa dampak yang sangat buruk bagi jiwa manusia. Berbagai kejadian konsep diri yang negatif, depresi dan penyakit mental lainnya memiliki riwayat pada proses ini.

Sebaliknya ada pula orang orang yang berpikir bahwa dirinya adalah pusat semesta, pusat kontrol dan kuasa atas segala sesuatu yang terjadi pada dirinya maupun sekitarnya.

Sehingga semua kesenangan, keberuntungan dan kesuksesan yang ia dapatkan dinilai semata mata hanya karena usahanya sehingga mengecilkan peran orang lain maupun faktor faktor lainnya, bahkan Tuhan. AL quran menyimpan kisah tentang orang orang yang binasa bersebab pandangan yang keliru tentang dirinya :

📌 *a. Semua Milikku*
jika diri merasa memiliki semua hal secara mutlak maka bersiaplah akan rasa sakit yang mendera jiwa. Selalu takut kehilangan, tak pernah merasa aman meski berpasukan dan semena mena dengan kekuasannya. Fir’aun tak menganggap bahwa jabatannya sebagai Raja adalah amanah, tapi kepemilikan yang nyata. Tak cukup menganggap sumber daya alam Mesir sebagai milik pribadi, bahkan ia mengaku bisa menghidupkan dan mematikan manusia serupa Tuhan lewat kekuasaannya. Jika sudah demikian, maka akan berfungsi aturan dan hukum, kecuali sekedar memenuhi semua keinginannya. Jangan tanya tentang keadilan dan kepeduliaan, karena yang ia pikirkan hanya tentang dirinya sendiri.

📌 *b. Aku yang Paling* : dalam Al A’raf ayat 2 disebutkan bahwa iblis menolak taat pada perintah Allah untuk sujud pada Adam hanya karena merasa dirinya yang diciptakan dari api lebih baik dari Adam yang diciptakan dari tanah. Diusir dari surga pun tidak membuat iblis sadar, keangkuhannya justru mengobarkan perlawanan sepanjang masa untuk menjerumuskan manusia ke dalam berbagai maksiat dan kerusakan. Keangkuhan melihat kebenaran justru membuat seseorang makin terjerembab dalam kesalahan yang lebih dalam. Perasaan Superlatif dan tak bisa tertandingi adalah bagian dari penyakit jiwa yang harus diterapi segera.

📌 *c. Semata mata karena diriku*
Qarun yang tadinya miskin tak berpunya lalu atas karunia-Nya menjadi kaya raya hingga bergudang gudang hartanya lalu lupa bahwa badan yang ia gunakan bekerja, otak yang ia gunakan untuk berpikir, ruh yang membuatnya masih hidup adalah karuniaNYa.

Dalam surat Al Qhasash ayat 78 disebutkan bahwa akhirnya ia  menolak taat pada Allah swt, berkilah karena merasa semua harta yang ia peroleh semata mata karena kehebatan dan kepiawaiannya mencari penghasilan.

Jika Tuhan saja tak berbekas kebaikannya, jangan harap ia akan menghargai kebaikan sesama manusia.

Dalam level yang bervariasi, ketiga penyakit ini pun bisa menimpa manusia biasa seperti kita. maka waspadalah jika merasa sedih terhadap keberhasilan orang lain,senang atas musibah, tak tahan terhadap kritik dan kurang mampu melihat perspektif orang lain yang berbeda. Kesalahan berpikir ini akan menjebak kita pada masalah dan kepedihan yang lebih besar. Jangan pula membebani diri di luar kesanggupan sehingga bertindak melampaui batas. Misalnya berpikir bahwa  “semua orang harus menyukaiku”, “aku harus sama dengan kebanyakan orang”, “saya tak bisa mentolerir kesalahan kesecil apapun”, “saya harus tampak selalu sempurna”, “rumah saya harus selalu rapi dalam semua keadaan” .

Jika diri dinilai sebagai pusat semesta, maka dari sana banyak kepedihan bermula. Yang dikaruniakan Allah pada kitai tak dinilai sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan keberadaannya, hanya sekedar pemuas  diri semata. Berhati hati dan waspada, begitu pesan Rasulullah atas keadaan yang sedemikian rupa.

_ketika kamu melihat kekikiran ditaati, hawa nafsu diperturutkan, dunia yang diutamakan, dan ketakjuban orang yang memiliki pendapat terhadap pendapatnya maka jagalah dirimu sendiri_ (HR Tirmidzi)

Karena itu penting untuk selalu menguatkan pondasi aqidah, meluruskan tauhid kita dari kebengkokan. Menyadari benar bahwa modal utama menjadi orang tua bukanlah ilmu yang banyak, kecerdasan yang luar biasa, strategi yang lihai, modal yang besar. BUKAN ITU. Jiwa orang tua dan anak ada dalam genggaman Allah swt. Padahal jiwa/qalbu adalah pusat sasaran pendidikan manusia : ruang yang sama sekali jauh dari intervensi manusia sekuat dan sebanyak apapun usahanya. Karena itu hakikat mendidik pada dasarnya adalah keikhlasan menjalankan peran dengan ihsan, melibatkan Allah swt dalam setiap upayanya, menyelipkan khauf dan raja' pada sepanjang perjalanan dan melakukan semua upaya : agar datang pertolongan Allah swt pada kita. Bukankah itu yang justru paling berharga ?

✳ *Lingkungan pun ikut berperan*
Orang tua dan lingkungan ternyata juga menerapkan pola kurang sehat tersebut dalam praktik pengasuhan ataupun pendidikan.

Orang tua yang mengatakan “tidak boleh” ketika anaknya Banyak makan permen, coklat dan pemanis buatan.  Namun ketika si anak menangis merajuk, maka akhirnya ‘aturan dan larangan dengan maksud baik’ itu pun akhirnya dibatalkan oleh orang tua sendiri. Orang tua menyerah, goyah pendiriannya dan akhirnya merelakan anaknya menikmati kesenangan pada lidah meskipun mereka tahu bahwa dalam jangka panjang hal itu meruskan kesehatan anaknya. Pola ini terjadi berulang ulang dalam konteks yang berbeda.

Orang tua menginginkan anaknya percaya diri, namun lebih banyak mengkritik, intervensi menyalahkan apa yang dilakukan anaknya daripda mendukung dan memberikan kepercayaan. 

✳ *Salah Pesan*
Kebiasaan buruk pasti didahului oleh beberapa perbuatan buruk, dan perbuatan buruk selalu dimulai dari pemikiran yang salah.

Beberapa orang tua atau pendidik secara sadar atau tidak juga memiliki kontribusi dalam membangun kerangka berpikir yang salah. Salah satu penyebabnya adalah mementingkan hasil dibandingkan proses, ingin terlihat baik daripada benar benar berusaha menjadi baik.

Seorang remaja yang sudah puluhan kali melakukan seks bebas menceritakan pada saya bahwa ibunya sendiri pernah berpesan padanya “kamu gak papa pacaran asal jangan sampai menghamili anak orang”.kata-kata inilahyang dijadikan pembenaran atas perilaku seks bebasnya. “yang penting kan bu sampai hari ini saya gak pernah menghamili anak orang”.

Atau guru di sekolah yang mendapat target kelulusan 100% akhirnya di hari hari terakhir menjelang ujian nasional berpesan pada murid muridanya “yang pintar harus membantu teman teman yang lain dalam ujian, silahkan bagaimana caranya kalian lulus asal jangan sampai ketahuan pengawas”. “pakai kerudung biar cantik”. “rajin solat dhuha biar kaya”. Pesan pesan serupa dianggap lumrah, disampaikan berulang ulang menjadi kerangka berpikir, padahal salah kaprah. 

Tindakan lain yang mendorong munculnya _self defeating_ adalah “menyalahkan orangnya alih alih menunjukkan kesalahannya”. Ketika seorang anak berusaha membantu memasak lalu ternyata masakannya keasinan, alih-alih menunjukkan berapa banyak harusnya takaran yang tepat orang tua justru mengatakan pada anak “sudah pergi main saja sana daripada bikin kacau masakan mama” atau dengan mengatakan “kamu memang bodoh, masak begini saja tidak bisa”.

Mungkin terlihat sepele, namun fatal karena berlangsung berulang-ulang. Jika salah yang diserang adalah dirinya, yang terluka harga dirinya. Kalau pun berbuat kebaikan, maka yang dipuji adalah dirinya. Jika memotivasi, maka yang menjadi tujuan adalah mencapai kehebatan diri. Maka bijak benarlah ungkapan : segala sesuatu yang besar bisa bernilai kecil karena niat dan segala sesuatu yang dianggap kecil bisa bernilai besar karena niat.

Dari niat bermula nilai semua perbuatan. Maka mendidik diri sendiri untuk beramal harus dimulai dari memperbaiki niat. Segala sesuatu harus lillah, dilakukan untuk mengharap keridhoan Allah swt.
Fokus amal bukan untuk mendapatkan pujian dan kekaguman manusia (termasuk anak, pasangan atau lainnya).

Karena itu kita dilarang berlebihan memberikan pujian terhadap sesama manusia, atau menggunakan pujian untuk mencari keuntungan dari manusia.

Ibnu Athailah mengingatkan dalam nasihatnya : _saat orang beriman mendapatkan pujian, maka ia merasa malu pada Allah atas pujian yang diterimanya apabila  sifat yang dimaksud tidak dimilikinya sama sekali. Sedangkan manusia yang paling bodoh adalah orang yang suka mengabaikan keyakinan dirinya karena mengikuti dugaan yang ada pada orang lain_.

Kepahaman terhafap kondisi diri, baik kelebihan ataupun kekurangannya akan sangat membantu proses tarbiyah dalam keluarga. Jujurlah menilai diri dan terus berbenah untuk mendapatkan ridho ilahi.

_Pujian terbaik adalah yang membuat yang memuji ataupun yang dipuji makin banyak mengingat Allah swt_

✳ *Mewaspadai ‘kedurhakaan’ Orang tua terhadap Anak* 
Orang tua perlu mewaspadai hal-hal yang membuat dirinya mencederai fitrah kebaikan anak. Orang tua harus berusaha menjauhkan diri dari hal-hal yang menyebabkan dirinya berbuat zhalim pada anak, antara lain :
1. Mengabaikan pendidikan terhadap pasangan (istri)
Umar ra pernah menyebutkan beberapa hal yang menjadi hak anak atas ayahya, yakni  : Memilih calon ibu yang baik untuknya, memberinya nama yang baik, dan mengajarkannya Al-Qur’an
2. Memberi nama dan memanggil anak dengan sebutan yang buruk
3. Kasar lagi zhalim pada anak (menghukum melebihi kesalahannya)
4. Tidak adil pada anak (melebihkan anak yang satu dari yang lain secara terang-trangan)
5. Mendoakan keburukan bagi anak
6. Tidak memberikan pendidikan yang baik bagi anak termasuk membiarkan anak berbuat dosa dan maksiat tanpa berusaha mencegahnya

✳ *Mendidik dengan teladan*

Seseorang akan berhasil jika ia memilih bertindak benar, bukan memilih yang paling mudah. Namun tidak semua orang menyukai bertindak benar dan tepat pada segala situasi. Karena hal ini memang kadangkala membuatnya berhadapan dengan situasi yang melelahkan, membosankan, penuh tantangan dan kesulitan.

Karena itu kebiasaan kebiasan baik pada awalnya harus ditubuhkan dengan cinta. *Cinta lahir dari perasaan suka, subur dalam keimanan*. Inilah sebenarnya tugas penting orang tua : *mengolah rasa*. Rasa tampak secara spontan daa berbagai keadaan.

Orang tua tak perlu mengatakan “solat itu enak loh...asyik, kamu bisa jadi orang yang baik”. sementara anak melihat orang tuanya yang rajin solat adalah orang yang paling sering memarahi dan memukulnya. Anak tak melihat jejak-jejak solat dalam keseharian orang tuanya, tak tampak bacaan qur’an yang melembutkan hatinya juga tak merasakan efek kasih sayang yang bersebab proses pembersihan jiwa orang tuanya.

Anak anak memperhatikan, mendengar, merasakan, mengobservasi, membuktikan setiap hari dan mereka memiliki kesimpulan dan memorinya sendiri : tentang kita orang tuanya sebagai sebuah sudut pandang utama untuk memandang dunia, Tuhan dan semesta yang lebih luas....

Total comment

Author

admin

0   comments

Cancel Reply