Oleh : W.S Rendra
Demikianlah sebenarnya tradisi kebudayaan alam kita itu
antikepribadian. Dan juga anti-pertumbuhan-spiritual. Secara tradisional
yang dimaksud dengan “kepribadian” itu adalah kebiasaan-kebiasaan kolektif. Jadi mekanis,
tidak spiritual. Satu per satu manusia tak perlu berkepribadian, cukup
apabila mereka setia dan patuh kepada alam, setia dan patuh pada
kedudukannya yang sudah digariskan di dalam aturan alam semesta bagaikan
sekrup, gir, atau gotri dari sebuah mesin yang besar, yang bernama
alam.
Tidak mengherankan apabila di dalam tradisi kebudayaan alam yang mekanis itu kata sukma atau jiwa tidak dikenal. Kata sukma dan jiwa masuk dalam kebudayaan kita sebagai pengaruh dari kebudayaan asing: Sanskerta. Kata roh dan rohani datang dari kebudayaan asing pula: Arab.
Untunglah bahwa kata-kata sukma, jiwa dan roh itu diimpor dalam hubungannya dengan dogma-dogma, jadi tidak dalam hubungan pertumbuhan dinamis kepribadian orang per orang sebagai gejala kebudayaan, maka karena itu gampang pula kata itu diimpor. Semua yang statis dan dogmatis disukai di dalam kebudayaan alam. Tapi cobalah memasukkan kata sukma dalam
pengertian sebagai sesuatu yang hidup, sesuatu yang berhubungan dengan
pertumbuhan kepribadian orang per orang. Hal ini akan sulit diterima,
lalu akan segera dicap sebagai “benar-benar” asing.
Demikianlah, di dalam pendidikan kita, kepribadian tetap tidak
diperkembangkan. Di rumah atau di sekolah anak-anak diajarkan bahwa
kebajikan tertinggi itu: kepatuhan. Kesangsian kreatif yang mungkin
berakibat perombakan dianggap sebagai kemunafikan. Diajarkan pula
pegangan yang tertinggi, yaitu: kebiasaan kolektif. Ekspresi pribadi
tidak perlu. Orang cukup mempertanggungjawabkan perbuatannya menurut
ukuran kebiasaan kolektif, persisi seperti sekrup terhadap mesin. Orang
tidak dibiasakan mempunyai ukuran-ukuran dan tanggung jawab pribadi.
Sejak kecil anak-anak sudah dibiasakan menerima bahwa kepribadian itu
sama dengan kebiasaan. Alangkah sempurnanya pendidikan kita dalam
menciptakan robot-robot yang konservatif.
Tidak mngherankan apabila sulit sekali untuk memperjuangkan demokrasi
dan hak-hak asasi manusia di tengah masyarakat robot. Sesuai dengan
sifat-sifatnya, robot-robot takut akan suasana kemerdekaan, karena tidak
tahu bagaimana berbicara merdeka. Sangat perlu bagi mereka untuk
mempunyai mesin besar di mana pusat tombol yang menggerakkan mereka
berada: mereka perlu tiran. Jadi tidak tepat apabila kesalahan tirani
Orde Lama ditimpakan pada seorang pemimpin dan satu-dua partai saja.
Sebab dorongan yang terbesar dalam pembentukan tirani Orde Lama
datangnya dari masyarakat sendiri. Tirani Orde Lama sangat cocok sekali
dan sejalan betul dengan pendidikan robot-robot. Demokrasi terpimpin,
dogma-dogma, pengekangan hak perseorangan agar sesuai dengan dengan
“kedudukan”-nya: inilah nilai yang mulia di dalam pendidikan kita.
Apabila sampai sekarang masih ada hakim-hakim dan jaksa-jaksa yang
menginjak-injak hak asasi manusia dengan sinis menunjukan kedudukannya
yang masih didefinisi oleh peraturan-peraturan kuno, itu wajar sekali.
Hakim batu, jaksa kasar, lumrah. Semua sesuai dengan kedudukannya. Saya
tidak setuju apabila mereka dituduh berjiwa jahat, sebab mereka tidak
mempunyai jiwa. Mereka itu robot, hasil didikan orang tua mereka,
sekolah mereka, dan masyarakat mereka.
Apabila kita menganggap bahwa hal-hal di atas sesuatu bencana, maka
bencana itu hanya bisa dihindarkan dengan mengubah sistem pendidikan di
rumah tangga dan di sekolah kita. Usaha menumbuhkan kepribadian orang
per orang harus lebih ditekankan. Setiap pendidik harus mengakui bahwa
jiwa orang per orang itu khas atau unik. Jiwa orang-orang tidak sama dan
sebangun, sebagaimana barang hasil cetakan satu pabrik, yang lalu punya
cap: made in Indonesia. Keunikan jiwa orang per orang ini harus diindahkan dan harus dirangsang untuk berkembang.
Pendidikan kesenian di sekolah-sekolah pun harus ditekankan kepada
ekspresi kepribadian dan bukannya pada ekspresi tradisional. Menentang
tirani Orde Lama, tapi mempertahankan sistem pendidikan lama adalah
suatu hal yang menunjukan keruwetan berpikir.
Sumber : http://sastranesia.com/opini-rendra-melawan-mesin-bagian-2/