Oleh : W.S Rendra
“Jadi ini persoalan manusia melawan mesin?” Saya bertanya kepadanya dengan penyederhanaan persoalan.
“Ya.” Rupa-rupanya ia tak keberatan dengan penyederhanaan itu.
“Kalau begitu ada persamaan antara persoalan di negaramu dan di negaraku.”
“Bagaimana?”
“Kita sama-sama melawan mesin.”
“Mesin?”
“Mesinmu bernama industrialisasi, mesin kami bernama kebudayaan alam.”
Seorang pemuda Jerman yang datang bertamu ke rumah saya mengatakan:
“Peradaban kami dalam krisis. Hampir-hampir tak ada harapan lagi. Hidup
kami terlalu dikuasai oleh mesin. Sistem pendidikan kami sungguh
celaka. Setiap anggota masyarakat dipersiapkan untuk menjadi sekrup,
gir, atau gotri, sehingga bisa cocok untuk sang mesin industrialisasi.
Kami tak mau ini. Kami tak mau dididik untuk menjadi sekrup dari sebuah
mesin. Kami ingin jadi manusia.”
Keluh-kesah semacam itu sering saya dengar dari seorang pemuda Barat. Hampir setiap hippies mengeluarkan
keluh semacam itu. Tetapi melihat keadaan di bagian dunia yang lain,
mereka toh masih harus bersyukur, bahwa mereka mempunya lebih banyak
kesempatan untuk memperbaiki kehidupan mereka dengan tidak usah
meresikokan akan harus melewati kemelaratan massal. Keadaan ekonomi
negara mereka sudah stabil, segala perbaikan kehidupan bisa mereka
perjuangkan tanpa merisikokan kesejahteraan perut rakyat. Secara pukul
rata malahan bisa dilihat bahwa perjuangan mereka bukan pada tingkat
pembangunan-dasar, tapi pada tingkat penyempurnaan. Dan fasilitas untuk
mengkomunikasikan ide mereka kepada pemerintah dan rakyat lebih banyak
mereka punyai justru karena pertolongan teknologi dan tradisi berpikir
secara ilmiah.
“Ya.” Rupa-rupanya ia tak keberatan dengan penyederhanaan itu.
“Kalau begitu ada persamaan antara persoalan di negaramu dan di negaraku.”
“Bagaimana?”
“Kita sama-sama melawan mesin.”
“Mesin?”
“Mesinmu bernama industrialisasi, mesin kami bernama kebudayaan alam.”
Sekarang saya akan melanjutkan pembicaraan itu dengan pembaca tentang
mesin yang menguasai hidup kita dan yang mengancam kemanusiaan kita,
yakni mesin yang bernama kebudayaan alam itu.
Kebudayaan tradisional kita adalah kebudayaan alam. Kita tidak
menguasai alam, tapi mengharmoniskan diri dengan alam. Pertanian
tradisional kita adalah pertanian alam: menyerah kepada musim dan tidak
ilmiah. Sudah lama kita tidak mengenal abjad tulisan, tapi tradisi
kebudayaan kita tidak pernah meningkat kepada kebudayaan tulis;
sebaliknya kita tetap bergantung pada cara penyampaian diri yang sangat
alamiah: cara lisan.
Begitulah, sementara di bagian dunia yang lain orang sudah melewati
kebudayaan tulis dan sampai di ambang pintu kebudayaan audio-visual,
kita masih tetap saja berada di tingkat kebudayaan lisan. Semata-mata
karena kebudayaan lisan lebih alamiah. Tak ada dorongan dari tradisi
untuk lebih dari sekadar hanya alamiah. Bahkan tradisi mengajarkan satu
pandangan hidup yang menyerah kepada alam semesta. Wedhatama dan petuah-petuah
lain mengajarkan bahwa setiap orang sudah mempunyai kedudukannya
sendiri-sendiri di dalam alam semesta. Masing-masing orang harus tahu
diri, masing-masing harus tahu kedudukannya: apakah ia klerek,
apakah ia priyayi, apakah ia kepala, apakah ia rendahan, apakah ia tua,
apakah ia muda, apakah ia perempuan, apakah ia lelaki. Semuanya punya
kedudukan sendiri-sendiri dan tidak bisa disamakan begitu saja. Inilah
aturan alam. Inilah harmoni alam. Harmoni itu tidak bisa dijaga tanpa
kolektivisme yang kuat. Ekspresi kepribadian satu manusia tidak perlu:
itu deksura, kepongahan!
Yang ada hanya hukum-hukum kolektif: barangkali ini bisa dianggap
“semacam” kepribadian kolektif. Kalau demikian halnya, maka nyata bahwa
kehidupan spritual satu persatu manusia sangat terbatas. Apabila satu
per satu manusia dibiarkan mengalami perkembangan spiritual
sebebas-bebasnya, maka ia akan sampai kepada tanggung jawab pribadi, ia
akan sampai kepada kepribadian. Ini membahayan harmoni dengan alam.
Sumber : http://sastranesia.com/opini-rendra-melawan-mesin-bagian-1/